Era Kaset Industri Rekaman Indonesia
Industri rekaman Indonesia baru memasuki ERA KASET tahun 1964. Waktu itu para pembajak memimpin suatu perubahan. Mereka memberikan teknologi yang lebih praktis dan murah, yaitu kaset, ketimbang piringan hitam yang terbilang mahal dan lebih rumit.
Jangkauan pasar kaset yang luas, menyebabkan Remaco yang dipimpin mantan ketua umum Asiri tahun 1990-1992, almarhum Eugene Timothy (Palembang 1 Februari 1938-Jakarta 24 Desember 2002) juga mulai memproduksi kaset tahun 1967. Setahun kemudian Eugene Timothy melakukan operasi antipembajak yang barangkali pertama di Indonesia, karena waktu itu lagu-lagu dari piringan hitam Remaco paling banyak dibajak.
“Saya harus mengimpor kaset merek TDK dan Phillips langsung dari Singapura dan Hongkong untuk menandingi ulah pembajak. Mula-mula omzet penjualan belum sebanyak sekarang, baru puluhan ribu kaset untuk setiap judul. Ketika lagu-lagu Koes Plus mulai digemari dan setiap judul kaset bisa terjual ratusan ribu buah, saya baru menyadari bahwa kami sudah memasuki industri rekaman kaset,” ungkap Eugene Timothy dalam sebuah seminar tentang hak cipta awal tahun 1980-an.
Dengan Remaco-nya, Eugene Timothy merekam suara emas Broery Pesolima, Eddy Silitonga, Ernie Djohan, Tetty Kadi, Lilies Suryani, Ida Royani, Benyamin S, Hetty Koes Endang, Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, grup Empat Nada, Koes Plus, Mercy’s, D’lloyd, Favouriet’s, Panbers, Bimbo, The Pros, The Crabs, serta sederetan nama lainnya.
Teknologi rekaman kaset yang sederhana ternyata menumbuhkan dengan subur industri pembajakan. Sedemikian mengkhawatirkan masalah pembajakan kaset ini, sehingga sejumlah pelaku industri musik bersepakat mendirikan GIRI (Gabungan Industri Rekaman Indonesia) — diketuai almarhum Tony Ibrahim dari perusahaan rekaman Flower Sounds pada tahun 1975 (Majalah Top Nomor 78, 7 Juni 1977) — untuk memberantas pembajakan kaset. Sayang, GIRI tidak memperlihatkan gebrakan yang berarti. Mungkin karena itulah kemudian berdiri Asiri (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) lahir 1 Februari 1978, dengan maksud dan tujuan yang sama.
Pada tahun 1975 juga berdiri APNI (Asosiasi Perekam Nasional Indonesia) yang diketuai Pungky Purwadi BA, beranggota perekam lagu Barat seperti AQUARIUS, HINS COLLECTION, NIRWANA, TOP, ETERNA, CONTESSA, PERINA, SATURN, KING’S RECORDS, ATLANTIC RECORDS, YESS, dan GOLDEN LION. Tetapi, pada tahun 1988, ketika perekam lagu barat diharuskan membayar royalti pemusik dan perekam lagu Barat, asosiasi ini bubar. Sebagian anggotanya meleburkan diri menjadi anggota Asiri.
“SAYA mengawali keterlibatan dalam industri musik karena suka mengumpulkan piringan hitam lagu-lagu klasik Opera Kanton, jazz, dan klasik barat,” kata Hendarmin Susilo (56), Presiden Direktur PT GEMA NADA PERTIWI (GNP) yang memproduksi lagu-lagu tradisional, langgam, keroncong, hingga lagu pop dan tradisional Indonesia yang liriknya diterjemahkan ke bahasa Mandarin.
Menurut anak pertama dari empat bersaudara, ayah dari empat anak dan kakek dari tiga cucu ini, karena khawatir piringan hitamnya rusak tergores, lagu-lagu yang disenanginya direkam ke pita seperempat inci dengan tape-recorder Aiwa M8, yang saat itu, tahun 1969 termasuk paling canggih. Hasilnya ternyata mengesankan beberapa temannya yang langsung minta direkam ke kaset. Itulah awal dia terinspirasi memproduksi kaset yang berisi lagu-lagu barat.
Namun, perusahaan rekaman HINS COLLECTION yang didirikannya tahun 1970 terpaksa ditutup karena tidak memiliki lisensi produksi lagu barat. Hendarmin mulai mengaktifkan GNP tahun 1984 dan produksi pertamanya adalah lagu keroncong yang dinyanyikan Gesang.
“Saya memang pencinta musik keroncong. Dalam kondisi industri yang kurang baik sekarang ini, saya tetap menerbitkan rekaman keroncong Gesang terbaru yang membawakan lagu-lagunya sendiri. Kasetnya saya cetak 5.000 dan CD-nya 1.000 buah. Saya harap jumlah ini bisa habis dalam waktu enam bulan hingga satu tahun,” ungkap Hendarmin.
Perekam lagu barat lainnya Iwan Sutadi Sidarta masih tetap memproduksi lagu dari mancanegara dengan berbagai label, selain lagu pop Indonesia.
“KING’S RECORDS yang saya dirikan tahun 1969, sekarang khusus menerbitkan lagu-lagu nostalgia, Buletin International untuk lagu-lagu remaja sekarang seperti Backstreet Boys, Britney Spears, dan sebagainya. Untuk lagu Indonesia, saya juga menggunakan label Buletin, Aruna, Granada, dan Billboard,” kata Iwan yang mempopulerkan kembali lagu Bujangan Koes Plus lewat grup Junior.
Bekerja sama dengan Log Zhelebour, Iwan mendirikan LOGISS RECORDS tahun 1986. Tetapi baru sekarang menikmati sukses bersama kaset Jamrud. Meski demikian, kini Iwan paling berani menerbitkan satu judul kaset untuk setiap label perusahaannya. Satu hal yang sama dilakukan MUSICA STUDIO’S.
“Setiap produksi kaset harus dihitung dengan matang. Karena untuk produksi dan promosi seorang penyanyi atau grup baru paling tidak dibutuhkan Rp 200 juta hingga Rp 300 juta,” kata Indrawati Widjaja (43), Direktur Utama Musica Studio’s yang memimpin perusahaan ini sejak tahun 1985.
Putri ketiga dari pendiri Musica Studio’s Amin Widjaja ini sudah akrab dengan studio rekaman sejak sekolah menengah pertama. Amin Widjaja adalah pendiri BALI RECORDS yang memproduksi piringan hitam Eka Sapta yang populer dengan lagu Putih Putih Si Melati, serta sejumlah penyanyi pada awal 1960-an.
Eka Sapta adalah nama toko peralatan musik milik Amin Widjaya di Pasar Baru. Waktu itu, untuk rekaman dilakukan di studio darurat yang peredam suaranya mempergunakan karung-karung berisi biji kopi di toko kopi Warung Tinggi, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta kota.
“Awal tahun 1970-an BALI RECORDS menjadi METROPOLITAN dan kemudian MUSICA STUDIO’S hingga sekarang. Pasang surut industri musik sudah kami alami dan tetap bisa survive karena kami cinta bisnis ini,” ujar Indrawati yang baru saja menerbitkan kaset Chrisye Dekade yang produksi dan promosinya menghabiskan Rp 1 miliar.
“Secara keseluruhan bisnis kaset sekarang ini merosot hingga 30 persen. Namun, untuk penyanyi tertentu seperti Chrisye atau Iwan Fals misalnya, shipout (jumlah peredaran kaset baru gelombang pertama) bisa mencapai 50.000 hingga 100.000 kaset. Sementara untuk penyanyi baru hanya sekitar 10.000 hingga 15.000 kaset,” tambah ibu dari empat anak yang amat sabar melayani penyanyi dan para pemusiknya.
Indrawati adalah keponakan nyonya Tjandra Herawati Wijaya, yang mendirikan perusahaan rekaman ATLANTIC RECORDS (1977), perusahaan perekam video Trio Tara (1978), toko kaset dan CD Disctara (1986) dan pabrik CD pertama di Indonesia Dynamitra Tara (1992).
No comments:
Post a Comment